Perubahan iklim
adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang
terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50
sampai 100 tahun. Juga, perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan manusia
(anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil
dan alih-guna lahan.
Jadi perubahan
yang disebabkan oleh faktor-faktor alam, seperti tambahan aerosol dari letusan
gunung berapi, tidak diperhitungkan dalam perubahan iklim. Dengan demikian
fenomena alam yang menimbulkan kondisi iklim ekstrem seperti siklon yang dapat
terjadi di dalam suatu tahun (inter annual) dan El-Nino serta La-Nina yang
dapat terjadi di dalam sepuluh tahun (inter decadal) tidak dapat digolongkan ke
dalam perubahan iklim global. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan
yang telah menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya dalam
bentuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous
oksida (N2O).
Menurut data Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), selama abad 20, Indonesia
mengalami peningkatan suhu rata-rata udara di permukaan tanah 0,5 derajat
celcius. Jika dibandingkan periode tahun 1961 hingga 1990, rata-rata suhu di
Indonesia diproyeksikan meningkat 0,8 sampai 1,0 derajat Celcius antara tahun
2020 hingga 2050.
Dalam laporan
terbaru, Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuwan
dari seluruh dunia,mengungkapkan bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun
terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas. Sejak Revolusi Industri,
tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam
150 tahun terakhir.
Peningkatan konsentrasi CO2 di
atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000tahun terakhir! IPCC juga
menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon
dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia
tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk,
pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil
menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak.
Menurut
Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang
diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, “industri
peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah
ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di
seluruh dunia (13%). ” Hampir seperlima (20 persen)
dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi
gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia.
Beberapak dampak
dari perubahan iklim yang terjadi di Bumi. Selain suhu yang meningkat, adapun
dampak lainnya, yaitu :
1) Krisis Air.
Air merupakan
unsur yang penting dalam kehidupan manusia. Ketersediaan air di dunia sangat
melimpah, namun dari total jumlah air yang ada, hanya lima persen
saja yang tersedia sebagai air minum, sisanya adalah air laut.
Pada kenyataannya,
bahwa dengan semakin meningkatnya populasi, semakin besar pula kebutuhan akan
air minum. Sehingga ketersediaan air bersih pun semakin berkurang.
Para ahli
memprediksi Indonesia akan mengalami kelangkaan air bersih pada tahun 2025.
Bumi terdiri dari 97.5 % air, tetapi hanya 1 % dari air tersebut yang
tawar." Air tawar tersebut bersumber dari curah hujan yang tertampung
pada danau, situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Diperkirakan
Indonesia memiliki total volume air sebesar 308 juta meter kubik.
Hal ini merupakan
dampak dari perubahan iklim sehingga membuat Indonesia mengalami banjir
pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Ketersediaan air
perlu diimbangi dengan kualitas yang baik pula. Kualitas air ini berkaitan
dengan kelayakan pemanfaatan air untuk berbagai kebutuhan.
2) Terjadinya Bencana Krisis Kemanusiaan
Karena kurangnya
persediaan bahan pangan akibat tingginya potensi gagal panen yang disebabkan
perubahan suhu yang tidak menentu, sehingga menurunkan produktivitas pertanian.
Produktivitas pertanian di daerah tropis akan menurun jika suhu rata-rata
global meningkat 1-2 derajat Celsius. Di sisi lain, mencairnya es di kutub akan
menimbulkan pemuaian massa air laut dan kenaikan air laut, sehingga hal ini
akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang. Adapun dampak akumulatif dari
keadaan ini adalah meluasnya bencana kelaparan dan meluasnya gizi buruk.
3) Meluasnya Berbagai Penyakit yang Mengancam Spesies Manusia
Hal ini disebabkan
oleh naiknya suhu udara yang menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek.
Dampaknya, penyakit yg ditularkan nyamuk akan berkembang biak dengan lebih cepat.
Penyebaran penyakit ini khususnya di daerah Tropis, seperti demam berdarah,
diare, malaria dan leptospirosis karena bertambahnya populasi serangga (nyamuk)
sebagai vektor penyakit
4) Hilangnya
Berbagai Jenis Keaneragaman Hayati
Perubahan suhu bumi
yang tidak menentu mengakibatkan hilangnya spesies flora dan fauna karena tidak
dapat beradaptasi, dan sekitar 20-30 persen spesies tanaman dan hewan akan
punah bila suhu rata-rata global naik 1,5-2,5 derajat Celsius. Selain itu,
naiknya suhu air akan meningkatkan keasaman laut. Bertambahnya Karbon dioksida
di atmosfer diperkirakan membawa dampak negatif pada organisme laut seperti
terumbu karang (cloral bleaching) dan punahnya spesies lain yang bergantung
pada organisme tersebut. Sehingga diperkirakan sekitar 80% spesies tanaman dan
binatang akan punah dalam satu abad mendatang.
Perubahan iklim yang terjadi di
Indonesia umumnya ditandai dengan adanya perubahan temperatur rata-rata harian, pola curah hujan, tinggi muka
laut, dan variabilitas iklim (misalnya El Niño dan La Niña, Indian Dipole, dan
sebagainya). Perubahan ini memberi dampak serius terhadap berbagai sektor di
Indonesia, misalnya kesehatan, pertanian, perekonomian, dan lain-lain. Perubahan
temperature rerata harian merupakan indikator paling umum perubahan
iklim. UK Met Office memproyeksikan peningkatan temperature secara umum di
Indonesia berada pada kisaran 20 C – 2,50 C. Pada tahun
2100 berdasarkan scenario emisi A1B–nya IPCC, yaitu
penggunaan energy secara seimbang antara energi non-fosil dan fosil (UK Met
Office, 2011).
Di samping itu, peningkatan temperature permukaan
atmosfer juga menyebabkan terjadinya peningkatan temperatur air laut yang
berujung pada ekspansi volum air laut dan mencairnya glest serserta es pada
kutub. Pada tahap selanjutnya, tinggimuka air laut mengalami kenaikan yang
berisiko terhadap penurunan kualitas kehidupan di pesisir pantai.
Peningkatan temperature rerata harian
tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap pola curahh ujan yang umumnya
ditentukan sirkulasi monsun Asia dan Australia. Dengan sirkulasi monsun,
Indonesia memilikiduamusimutama yang berubah setiap setengah tahuns ekali
(musim penghujan dan kemarau). Perubahan temperatur rerata harian juga dapat
mempengaruhi terjadinya perubahan pola curah hujan secara ekstrem.
Pada pertengahan
abad ini, rata-rata aliran air sungai dan ketersediaan air di daerah subpolar
serta daerah tropis basah diperkirakan akan meningkat sebanyak 10-40%. Sementara
di daerah subtropis dan daerah tropis yang kering, air akan berkurang sebanyak
10-30% sehingga daerah-daerah yang sekarang sering mengalami kekeringan akan
semakin parah kondisinya.Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan tingginya
permintaan air. Hal ini menimbulkan penyedotan besar-besaran terhadap sumber
air yang ada. Khusus untuk Jakarta, naiknya muka air laut dapat membuat batas
antara air tanah dan air laut semakin jauh ke daratan. Sehingga mencemari lebih
banyak sumber air minum.
Untuk beberapa
dekade mendatang, para pakar memprediksi hasil tanaman pangan mulai dari jagung
hingga gandum, beras hingga kapas, akan menurun hingga 30 persen. Hasil yang
menurun ini berujung pada peningkatan harga pangan. Sumber kebutuhan air tawar
sepertiga penduduk dunia kering pada tahun 2100. Oleh karena itu, akan ada
proses penyimpanan, dan transportasi pangan yang membutuhkan air dan energi
lebih. Namun meningkatnya suhu bumi ditambah dengan populasi global akan
menyebabkan tingginya permintaan air dan energi. Sedangkan curah
hujan, diproyeksikan akan menurun sebanyak 40 persen di beberapa lokasi
sehingga menyebabkan krisis air bersih.
Perubahan iklim merupakan sesuatu yang
dampaknya sulit untuk dihindari terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak
ekstrem dari perubahan iklim adalah terjadinya kenaikan temperature serta
pergeseran musim, juga terjadi peningkatan suhu bumi yang menyebabkan mencairnya
es di daerah kutub. Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change),
dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan air laut setinggi 10-25 cm.
Sementara menurut laporan Greenpeace, diperkirakan pada tahun 2100 mendatang
akan terjadi peningkatan air laut setinggi 19-95 cm. Peningkatan air laut
setinggi 1 meter akan mengakibatkan hilangnya pulau atau daratan. Selain itu,
daerah subtropis dan tropis yang kering akan mengalami kekurangan air sebanyak
10-30 persen sehingga terancam bencana kekeringan. Hal inilah yang menjadi
penyebab terjadinya krisis air bersih.
Namun, perubahan
iklim yang ada saat ini dan yang akan datang dapat disebabkan bukan hanya oleh
peristiwa alam melainkan lebih karena berbagai aktivitas manusia. Kemajuan
pesat pembangunan ekonomi kita memberikan dampak yang serius terhadap iklim
dunia, antara lain lewat pembakaran secara besar-besaran batu bara, minyak, dan
kayu, serta pembabatan hutan.
Referensi :